Tahun 2003, saat aku masih duduk di Bangku SD, pergi ke Jakarta adalah suatu hal yang sangat menyenangkan. Bagaimana tidak? pergi ke Ibukota Indonesia yang banyak dipenuhi dengan layanan-serba-ada tentu menyenangkan. Taman Mini Indonesia Indah, -saat itu menjadi favoritku saat berkunjung ke Jakarta. Ayahku, sepulangnya dari Jakarta di tahun-tahun sekitar 2003, adalah kabar yang sangat baik! Mengapa? karena ayah selalu membawa barang atau mainan baru. Seperti Sepeda legendaris merk Wimcycle, atau dress-dress ala china yang cantik dan menawan untuk dipakai oleh anak SD seusiaku. Praktis, aku bercita-cita bisa liburan ke Jakarta untuk mencari kesenangan. Tapi, itu saat itu.
Minggu awal tahun 2018, aku berdiri sendiri di tanah Ibukota. Meski tahun 2014 aku sudah pernah ke Jakarta, tetapi kali ini berbeda. Aku pergi sendiri, dan menjelajah Jakarta sendiri untuk magang di salah satu lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perkotaan. Aku harus 'menikmati' Jakarta selama sekitar 1 bulan lamanya. Ekspektasi awalku disini adalah bisa melihat bagaimana Jakarta dengan mudah dan menawannya mendirikan gedunng-gedung pencakar langit yang membuatku mendangak hampir 180 derajat demi melihat lantai teratasnya. Menawan sekali! Representasi smart city kekinian! Aku juga ingin mengetahui bagaimana kerennya Jakarta bisa menjadi pusat perputaran uang terbesar, tempat tinggal para artis, dan ada orang nomor satu di Indonesia di dalamnya. Jakarta keren! aku ingin belajar kota bersamamu!
Itu cerita dan ekspektasiku. dan inilah nyatanya.
Jakarta bisa jadi kota impian orang-orang pencari kerja. Gubernur baru DKI Jakarta Anies Baswedan telah menetapkan UMR DKI Jakarta 2018 di angka Rp. 3.648.035. UMR ini dihitung berdasarkan inflasi nasional 3.72% pertumbuhan ekonomi sebesar Rp 4,99% dan kenaikan UMP sebesar 8,71%. UMR tahun 2018 untuk DKI Jakarta sudah naik dibandingkan dengan UMR DKI Tahun 2017, Rp. 3.355.750 (goumr.id). Tawaran ini tentu menggiurkan, apalagi Jakarta luas. Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Jakarta Pusat, dan Kepulauan Seribu. Semuanya menyediakan banyak sekali lapangan kerja, Maka, tidak heran jika di dalamnya berisi orang-orang berjas dan berkantong tebal. Hiburannya pun disediakan, mall-mall yang menjamur, dan cafe dengan minuman seharga diatas 40 ribu.
Gedung-gedung berlomba-lomba mencakar langit. Ada yang KDB (Koefisien Dasar Bangunan) nya rendah tapi tingginya ratusan, ada juga yang KDB nya besar di lengkapi dengan ratusan lantai pula.Seorang pengamat kota bidang arsitek bangunan bisa jadi menyukai hal ini. Namunn, ternyata, di tempat saya magang, saya belajar bahwa studi perkotaan tidak melulu tentang desain bangunan! Ada yang jauh lebih penting! adalah 'Halaman dibalik gedung tinggi'. Saya mendapat bagian melakukan riset di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Pemandangan dari Masjid Kampung Gedong Pompa (Timur Waduk Pluit)
Waduk Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara ini memiliki dua wajah yang berbeda. Di sisi barat berdiri bangunan-bangunan pencakar langit yang terdiri dari apartemen, hotel, maupun kantor sedangkan di sisi timur terhampar kampung kota bernama Kampung Gedong Pompa. Kampung Gedong Pompa saat ini memiliki masalah yang cukup berat dan cukup mengkhawatirkan warganya yakni kekhawatiran akan digusur akibat pembangunan yang sedang berlangsung: pembuatan taman sebagai ruang hijau.
Pekerjaan warga Kampung Gedong Pompa didominasi oleh nelayan sehingga terdapat pula kampung nelayan di dalam Kampung Gedong Pompa. Kampung ini juga dikenal sebagai sentra penampungan anak-anak yatim meskipun tempatnya sebenarnya bisa dikatakan tidak layak. Warga kampung ini tidak bersedia jika harus digusur dan dipindahkan di rumah susun. Inilah yang saat ini masih menjadi polemik: pilih mana sih antara landed house dengan vertical building? Jawabannya tentu: tanya warganya. Jika kita berpikir logis, tentu akan lebih menyenangkan tinggal di rumah susun, sehingga estetikanya dapat. Indah dan rapih. Tapi ternyata warga kampung ini tidak menghendaki tinggal di rumah susun karena berbagai hal diantaranya uang sewa, lantai yang banyak (susah kalau udah lansia), dan tetangga yang belum tentu sesuai dengan kehendak hati.
Maka, hal yang bisa dilakukan seorang perencana atau pengamat kota untuk kampung Gedong Pompa ini adalah melakukan perencanaan bersama warga. Bersifat partisipatif: dari warga, oleh warga, dan untuk warga. Perencanaan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan penjaringan aspirasi warga kampung setempat. Sehingga, warga menjadi teredukasi dan turut berpartisipasi untuk mempertahankan kampungnya agar tidak di gusur.
Pada RDTR Kampung Gedong Pompa, warna zonasi kampung ini salah satunya adalah ungu yang berarti boleh mendirikan permukiman dengan batasan tertentu. Tujuan perencanaan kampung secara partisipatif selain mempertahankan kampung yang sudah mengikuti kaedah perencanaan adalah untuk melakukan branding kampung agar kampung bisa memanfaatkan SDA serta SDM yang ada. Sehingga, kampung bisa berkembang dan bergerak maju.
Laut yang sudah di dangkalkan, akan dibuat taman
Kampung Nelayan
Maka, hal yang bisa dilakukan seorang perencana atau pengamat kota untuk kampung Gedong Pompa ini adalah melakukan perencanaan bersama warga. Bersifat partisipatif: dari warga, oleh warga, dan untuk warga. Perencanaan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan penjaringan aspirasi warga kampung setempat. Sehingga, warga menjadi teredukasi dan turut berpartisipasi untuk mempertahankan kampungnya agar tidak di gusur.
Pada RDTR Kampung Gedong Pompa, warna zonasi kampung ini salah satunya adalah ungu yang berarti boleh mendirikan permukiman dengan batasan tertentu. Tujuan perencanaan kampung secara partisipatif selain mempertahankan kampung yang sudah mengikuti kaedah perencanaan adalah untuk melakukan branding kampung agar kampung bisa memanfaatkan SDA serta SDM yang ada. Sehingga, kampung bisa berkembang dan bergerak maju.
Kondisi lingkungan yang sangat kumuh dan bisa dikatakan kurang layak huni akhirnya membantah ekspektasiku mentah-mentah. Antara sedih, kesal, dan senang. Sedih melihat masyarakatnya yang harus tinggal di kampung tersebut, kesal karena sektor-sektor tidak berkolaborasi dengan baik, dan senang karena akhirnya, aku mendapatkan insight baru. Akhirnya, aku tidak terlambat mengetahui bahwa belajar perkotaan tidak melulu belajar tentang menata gedung. Tetapi menata wilayah, menata zona, menata warga kota.
Dari sini, aku belajar bahwa ternyata, masih banyak manusia kota yang perlu dipenuhi haknya.