Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Biasa
12:37 PM
(Baca: Pahlawan tanpa/ tanda jasa biasa//)
Tlah banyak aku menulis tentang berbagai hal yang absurd, abstrak, dan terkadang menulis tentang orang-orang (Bagiku, tokoh) yang menginspirasiku. Namun ternyata aku melupakan seorang tokoh penting. Tokoh yang turut serta mengukir sejarah dalam hidupku. Tokoh itu ialah guru privatku, pahlawan tanpa tanda jasa biasa-ku.
Nama aslinya Dwi Hartati, beliau dipanggil Bu Tati tapi entahlah mengapa, sepertinya sih karena Bu Tati tidak mau salah dieja dalam penamaannya.
‘T A T I ya nggak pake H’
tapi, dasar bocah aku dan masku memberinya nama panggilan baru: But-hak-hik. Bacanya harus perkata ya: But, Hak, Hik. Memang sih, kalau dibaca tidak membentuk kata ‘Bu Tati’ tapi kita mah yang saat itu da aku mah apa atuh, tidak memiliki -atau bahkan tidak membutuhkan- waktu untuk mempersoalkan hal tersebut.
Oke, lanjut. Buthakhik ini lahir pada tanggal 15 bulan Desember namun tahunnya tidak ada yang mengetahui satupun karena sepertinya beliau datang dari planet yang berbeda dan telah mengalami relativitas waktu. Sebagai pendatang dari planet yang belum diketahui juga planet apa, Buthakhik tinggal di Jogja di dekat bangunan hijau (Hayoo tebak bangunan hijaunya itu apa?) bersama keluarganya. Tiga bersaudara: Bu Tuti (Di panggil Mbak Tut oleh Buthakhik), Buthakhik, dan Mas Agung. Adeknya lebih tinggi daripada kakaknya. Yang katanya, Buthakhik lebih sering dikira adeknya bukannya kakak. Dalam hal ini Buthakhik boleh berbangga karena dia sukses memancarkan pesona mudanya!
Aku pertama di-les-in sama Buthakhik saat aku berada di kelas dua SD. Ibu mengambilnya ((mengambil)) dari lembaga kursus yang nama lembaganya merupakan salah satu nama dari bagian wajah: p*p*. Ibu mengambil dua guru, satu untuk Mas yang sudah berada di kelas 3 SD, dan satunya untukku.
Ketika guru itu datang, ternyata aku mendapatkan Buthakhik sebagai guru privatku. Sedangkan Masku, mendapatkan Bu Veri yang kami panggil Bu Ve (Asalnya Brebes, kalau habis pulang kita suka dibawain telur asin yang lezat sedunia hoho).
Diawal hari-hari lesku, les berlangsung tegang layaknya seorang anak SD tanpa dosa didatengin kepala sekolahnya ke rumah. Tapi ternyata lama-lama aku mulai mengenal guru ini. Bagaimana cara mengajarnya hingga bagaimana sifatnya. Pada sesi penjelasan materi, Buthakhik memang paling juara sedunia! Jika memberi penjelasan, beliau selalu bisa memandang siapa audiensnya sehingga Ia akan memberikan penjelasan dengan metodenya yang sesuai, suaranya pun lantang sehingga ibu yang berada di luar kamar bisa mendengar dan meyakini bahwa kami memang sedang belajar. Dan yang kami suka dari Buthakhik adalah Buthakhik ini Multitalent! Pelajaran apa aja bisa mulai dari Eksakta sampai pada Bahasa Daerah. Kalau Matematika, Bahasa Indonesia mungkin Ibu masih paham namun jika Bahasa Daerah yakni Bahasa Jawa? Ibu sampai sekarang pun masih nggak bisa. (Ibu lahir di Jakarta, SMP-SMA di Dumai , Riau, Sumatera Barat, dan kuliah hingga sekarang di Jogja) Ditambah lagi Bahasa Inggris Buthakhik ini sangat super, sugoi! Her Toefl closes to 600! Jadi, kalau Buthakhik sudah datang, semua buku, PR, ku keluarkan. Bahkan dulu, saking aku dan ibu tidak bisa membuat puisi sebagai PR Bahasa Indonesia Aku meminta tolong (Lebih tepatnya menyuruh sih wkwk) Buthakhik membuatkannya untukku. Judulnya Desa, ditulis di notebook kecil warna pink.
Selama kurang lebih 5 tahun aku les privat dengannya, banyak sekali hal sedih, lucu, dan sangat berkesan. Setiap les berlangsung, Ibu selalu membuatkan kami minum dan minumnya selalu milo. Lucunya, gelas berisi milo milik Buthakhik seriiingkali tumpah entah bagaimana cerita lengkapnya. Pokoknya sering (Buthakhik, kau harus mengakuinya!). Pernah suatu kali, pengalaman yang menurutku sangat sangat memalukan. Saat itu, Buthakhik baru saja mendarat dan kami menutup kamar gegara masku habis gangguin. Pintu itu menutup ¾ bagiannya.
Tok tok tok
“Keluar!!” Kata Buthakhik dengan tegasnya
“Em.. kunci motornya tak pinjem dulu mau di tata”
You know, yang jawab perintah Buthakhik tadi adalah Ayah, bukan Masku yang sedang mengganggu kami. Kami langsung kaget dan menahan ketawa. Buthakhik langsung keluar dan minta maaf ke ayah karena dikiranya Mas Ajis. Yaampun Buthakhik, begitu polosnya dirimu.. Selepas ayah pergi, kita ketawa nggak selesai-selesai sambil ditahan tahan, malu kalo ketahuan Ibu.
Aduuh banyaak sekali kenangan yang kami rajut selama lima tahun tersebut. Suka lempar-lemparan kaos kaki lah, Suka nyanyi-nyanyi: dan yang paling kuingat adalah ketika Buthakhik menyanyikan lagu First Love milik Utada Hikaru entahlah aku ngefanz (pake z) banget sama suara buthakhik (Masih polos) dan aku memintanya untuk merekam suaranya di Hpku, Sempat beberapa kali gagal rekaman karena ketawa terus, akhirnya aku sebagai fanz berat yang nggak mau kehilangan kesempatan artis tersebut untuk merekam suaranya direct to my phone,
‘Aku keluar dulu deeeh nanti kalo udah ke rekam panggil aku yaa’
Aku keluar kamar, pintu ku tutup. Ditanyain ibu kok nggak belajar, aku bilang belajarnya sudah selesai tapi Buthakhik belum pulang.
Lanjut, selain kaos kaki dan nyanyi, Buthakhik juga sukanya nulis coret-coretan di buku, di meja, dan lain sebagainya.
Ohiya! Dulu, aku juga ngefans banget sama tanda tangan buthakhik (Yaampun aku dulu gumunan :( ) sampai sampai aku minta buthakhik bikinin aku tanda tangan. Selama itu, aku sering sekali berganti tandatangan gegara punyaku selalu tidak sebagus milik Buthakhik. Bahkan pernnah suatu kali, tandatanganku miriiip sekali dengan tanda tangan milik buthakhik..
Buthakhik ini juga penggila stationery, alat tulis. Tempat pensilnya udah kaya kantong ajaibnya doraemon. Apa aja ada. Beliau sampai hafal dimana tempat beli pensil ini, bolpen ini, yang murah dimana. Sampai suatu saat aku pernah nitip pensil mekanik merk FC, pensil yang maaahal banget. Satuannya entah 30ribu atau 60ribu aku lupa. Saking pengennya, aku dan masku nitip minta dibeliin itu ke Buthakhik. Tapi saat itu aku dan mas belinya pake uang sendiri yang sampai sekarang aku bertanya-tanya: kok aku dulu punya duit sebanyak itu?
Selama bersama Buthakhik, bukan hanya berbagi kesenangan namun ada juga kesedihan. Jadi dulu ceritanyaaa… Aku ngantuuuk banget tapi masih harus les. Terus, nggak tau gimana tiba-tiba aku nangis (hahahahaha alay banget sumpah) Buthakhik menasehatiku. Dan menasehatinya ini sambil tengkurep diatas Kasur soalnya aku ngambek dan tengkurep di Kasur. Namanya juga guru terhebat, selalu ada cara:
“Kita keluar dulu yuk jalan-jalan biar nggak ngantuk”
Kebetulan saat itu ayah libur praktek dan kita jalan-jalan di depan teras rumah, biar nggak ngantuk. Dan kami masuk ketika aku sudah tidak lagi mengantuk. Btw, Buthakhik selalu menyuruhku keluar dulu sih tiap kali aku ngantuk, biar dapet angin dan nggak ngantuk lagi. Padahal buthakhik kalo ngantuk sukanya izin aku untuk tidur sebentar ‘Bu tati ngantuk banget e fah, nanti kalau udah selesai bangunin bu tati yaa’ Kadang ketika buthakhik tidur, aku suka keluar cari makanan, main wkwk. Buthakhik ini udah kaya Mbak sendiri. Kita selalu makan malam bersama sesudah les, dan pernah sekali aku memohon mohon pada buthakhik agar menginap di rumahku seusai ujian. Dan Buthakhik pun menepatinya. Ohiya, dulu saat gempa 2006, Buthakhik juga sempat ke rumah :’) Buthakhik datang ketika sholat dhuhur. Buthakhik ceritanya jadi masbuk, dibelakang. Aku yang saat itu udah sholat memperhatikan sholatnya buthakhik. Sebagai masbuk yang telat satu raka’at seharusnya raka’at itu dibayarkan sendiri ketika imam sudah selesai. Namun aku saat itu heran ‘Buthakhik telat tapi kok udahan?’ Tiba-tiba usai beliau sholat beliau sadar juga
‘Fah buthakhik tadi kurang satu raka’at anterin ke kamar ulfah yuk. Buthakhik mau ngulangin sholat bu tati tapi kalo disini malu’ (Akhirnya.. buthakhik malu)
Kangen Buthakhik yang alaynya sedunia. Bahkan di Facebooknya dia menulis saat ini dia tinggal di New York -_-
Kalau ini foto alaynya yang ditulis dengan caption ‘Sleeping (beauty)’
Alhamdulillah kalau yang ini nggak alay
Masih buaaanyak sedunia kenanganku dengan Buthakhik. Namun aku perlu mencukupkannya sampai disini terlebih dahulu. Untuk mencukupkan tulisan ini aku akan menulis sedikit kalimat puitis nan romantis:
Ah Buthakhik, begitu banyak kesan yang kau tinggalkan. Sejak awal aku kelas dua hingga aku kelas 6 SD, kau selalu mendampingiku, mengajariku dengan metodemu yang luar biasa hingga aku menjadi pelanggan setia peraih Piagam Penghargaan di kelasku. Caramu mengajariku yang tidak hanya belajar namun selalu diiringi dengan bercanda, sharing, membuatku merasakan bahwa kau lebih dari seorang guru. Satu hal yang sangat kukagumi darimu adalah hingga detik ini kita masih bisa saling berkomunikasi. Karena komunikasi adalah sebuah penghubung yang paling baik. Meskipun kini kau telah melalang buana, menjadi guru di Gunung Kidul dengan perjuanganmu bolak-balik Jogja-Gunung Kidul (hingga pernah pingsan di jalan padahal dalam keadaan mengendarai motor) kau tetap mengingatku dan anggota keluargaku yang lain. Bahkan, disaat aku berulang tahun di tahun 2012 kau memberiku novel karena kau tau aku suka membaca….. teenlit (jahiliyah).
Apalagi yang harus kutuliskan tentangmu? Kehadiranmu selalu membawa semangat bagiku. Bahkan setiap kau datang untuk mengajariku, aku selalu menyambutmu dengan memanggil namamu dan menarik lenganmu untuk segera masuk ke kamar, ataupun memeluknya. Dan aku selalu sebal ketika kau pulang lebih awal. Buthakhik, sangat sulit –atau mungkin tidak ada- menemukan orang yang sepertimu saat ini. Orang yang ceria, pintar, alay, dan sukanya gengsi jika merindukanku. Terlalu sulit untuk dijelaskan dalam kata. Yang jelas, kaulah yang tetap dan selalu menjadi pahlawan tanpa tanda jasa yang luar biasa bagiku. Semoga apa yang dicitakan lekas terwujud, do’aku untukmu selalu, Buthakhik! :)
.
.
.
Dalam kerinduan,
21/1/16 9.35 pm
0 comments