Ini Hotelku, Mana Hotelmu?

12:03 PM

Bagi warga yang telah tinggal di Jogja minimal 3 tahun lamanya, pasti akan merasakan banyak hal berbeda. Cuaca yang mulai berubah karena faktor alamnya, budaya yang sempat diperdebatkan, dan yang paling marak dan paling terbaru saat ini adalah menjamurnya hotel di Jogja.

Julukan kota Jogja nyaris tak terhitung karena saking banyaknya –dan terus bertambah. Julukan yang berkorelasi dengan masalah menjamurnya hotel di Jogja ialah ‘Kota Wisata’. Jogja dengan peringkat kota wisata kedua setelah Bali ternyata mampu membuat melek para pengusaha. Mereka seolah-olah mendapatkan ide bisnis yang sama dalam waktu yang bersamaan pula.

Pikiran dengan orientasi keuntungan besar dan kestrategisan wilayah Jogja membuat para pengusaha ini semakin yakin untuk mendirikan bangunan megah tersebut. Mereka berrasumsi banyaknya hotel menjadi parameter majunya suatu kota. Semakin banyak hotel, semakin kaya warganya. Semakin kaya warganya, semakin maju kotanya.

Faktor yang mempengaruhi para pengusaha untuk mendirikan hotel antara lain izin yang dipermudah oleh pemerintah Jogja. Pada awalnya, pemerintah Jogja hanya memberikan izin bangunan sebanyak kurang lebih 30 (termasuk pembangunan hotel) akan tetapi, fakta yang terjadi ialah banyak izin yang keluar untuk pendirian hotel baru diluar angka 30 tersebut.

Alasan pemberian izin tersebut selalu monoton, yakni agar dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini sempat menuai kritik dari gubernur Jogja, Sri Sultan Hamengku Buwono X bahwa beliau tidak setuju dengan izin pembangunan yang hanya berlandaskan PAD saja. Menurut beliau, tidak ada manfaatnya apabila PAD naik, akan tetapi masyarakatnya tidak diuntungkan, dan tidak menjadi masyarakat sejahtera.
"Alasan pemberian izin tersebut selalu monoton, yakni agar dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)"
Aspek yang perlu ditambahkan, ditekankan dalam pengadaan izin pembangunan adalah aspek ekologi dan aspek budaya. Aspek ekologi berkaitan dengan lingkungan sedangkan budaya berkaitan dengan kebiasaan apa yang akan menjadi dampak dari diadakannya pembangunan tersebut.

Jika ditinjau dari sudut pandang keruangan, izin pembangunan memang perlu dibatasi dan tidak boleh melanggar apa yang menjadi batas dari ruang tersebut. Misalnya saja terdapat suatu kawasan hutan lindung, dan sedikit ruang dari hutan lindung tersebut akan dibangun sebuah permukiman warga atau bahkan hotel. Tentu hal ini tidak mungkin dapat disetujui karena terdapat beberapa faktor.
Yang pertama adalah ketika pemerintah membiarkan permukiman berdiri di kawasan hutan lindung, maka secara tidak disadari pemerintah sedang menghancurkan ekosistem yang ada di dalamnya. Yang kedua adalah daerah dekat hutan lindung tersebut mempunyai jarak yang jauh terhadap Central Business District (CBD) atau biasa dibilang pusat kegiatan. Ini akan mempengaruhi aksesibilitas warga dalam menjalani kehidupannya. Yang ketiga adalah dampak diri sendiri dan sekitar.

Analogi permukiman di tengah kawasan hutan lindung ini dapat dikaitkan dengan hotel di tengah permukiman warga. Pembangunan hotel di tengah perukiman warga tentu memberikan dampak yang besar terutama bagi warga yang bermukim di belakangnya –atau di daerah sekitarnya. ‘Warga belakang hotel’ sejatinya terus menerus berteriak karena merekalah yang pertama dan berkelanjutan menerima dampaknya. Rasanya tidak ada dampak positif yang diperoleh. Hanya dampak negatif dan selalu dampak negatif.

Dari survei beberapa aktivis berkaitan dengan keresahan mereka terhadap warga belakang hotel, permasalahan utama warga jatuh ke ‘sumur’. Kuantitas dan kualitas sumur warga semakin menurun. Sebelum terdapat hotel, kehidupan mereka lebih baik dengan sumber air yang mencukupi.

Akan tetapi, saat ini jatah air mereka sehari, sudah diambil alih oleh satu kamar diantara ratusan bahkan ribuan kamar di hotel tersebut. Bagaimana tidak serakah, air yang mampu memenuhi kebutuhan satu keluarga sehari disedot habis oleh salah satu pengguna kamar yang belum tentu menggunakan air warga tersebut sebaik mungkin?

Tak hanya kuantitas, warga belakang hotel turut memaparkan kualitas dari sumur air mereka. Mereka berkata semenjak terdapat hotel, bau air sumur mereka berubah menjadi bau bangkai tikus, hingga mereka tidak dapat meminumnya. Apakah pemaparan tentang dampak ini telah menjadi poin pendorong Jogja sebagai kota maju?

Rasanya gemas, tiap kali melintas menyusuri kota, yang terlihat sejauh mata memandang hanyalah hotel baru dan pembangunan hotel. Selalu dalam pikiran saya sendiri: mengapa harus hotel? Bahkan saya yang bukan warga belakang hotel kian hari kian resah terhadap menjamurnya hotel di Jogja.
Sejatinya, sangat banyak peluang yang bisa diambil oleh pengusaha dalam meningkatkan PAD selain membangun hotel. Yakni pengembangan Indonesia Agraris atau Indonesia Maritim yang berangkat dari Jogja.
"Sejatinya, sangat banyak peluang yang bisa diambil oleh pengusaha dalam meningkatkan PAD selain membangun hotel"
Sebagaimana kita ketahui, masih banyak sawah di Jogja bagian Selatan yang mampu dikembangkan. Seharusnya pengusaha mampu berkreasi dengan sawah-sawah tersebut, tentunya dengan mengembangkan potensi sawah.

Jika pengembangan sawah tersebut berhasil dan memberikan produk melimpah dan berkualitas, saya yakin pengusaha tersebut akan lebih jauh mendapatkan keuntungan yang besar dan bahkan nantinya tidak hanya berada di lingkup Jogja.

Pengusaha ini akan mampu mengekspor hasil produknya dan bersaing keluar Jogja, keluar Jawa, bahkan keluar Indonesia, dan akan bersaing global atas nama ‘Indonesia Agraris’. Mereka akan benar-benar meningkatkan PAD tanpa menyengsarakan warganya melaalui unjuk gigi hasil sawahnya. Bukan malah berjalan angkuh di depan warga sendiri dan berkata ‘Ini hotelku, mana hotelmu?’

Ulfah Choirunnisa

Baca ini juga, yuk!

0 comments