Langit gelap, kilat petir tanpa suara, dan hujan rintik sisa hujan amat lebat sejak tadi sore menyekapku untuk tetap berada di kamar. Seharusnya aku sedang pergi untuk menemui teman yang sedang berjuang namun ternyata takdir berkata lain. Aku tidak mendapatkan izin meskipun sudah dengan ‘proposal’ yang jelas. Hujan, katanya. Pun padahal kalaupun aku tetap berangkat, aku tidak akan basah kehujanan kecuali jika aku tidak membawa payung. Hujan seakan menyekapku untuk pergi meski dengan kendaraan apapun.
Jangan salahkan hujan, ya. Tidak-tidak, aku tidak menyalahkan hujan. Kupikir, Ibu mengambil ‘hujan’ sebagai alasanku untuk tidak keluar rumah hanyalah sebuah alasan. Alasan untuk alasan. Karena Ibu pun tau sebenarnya jika aku pergi, aku tak akan kehujanan.
Setelah mondar-mandir di depan pintu kamar ibu, keluar masuk kamar sendiri, kuputuskan untuk bertanya sekali lagi dan kali ini aku mengajukan pertanyaan : Bagaimana jika aku pergi dengan Mas? Jawabannya masih sama, tidak diizinkan. Masih dalam alasan yang sama: hujan. Aku sama sekali tidak menyalahkan hujan, dalam benakku alasan ibu dan ayah tidak membolehkanku keluar adalah karena hari sudah berganti malam, dan mereka akan mengkhawatirkanku selama aku pergi meskipun aku yakin diriku akan baik-baik saja. Ibu kemudian bilang bahwa masih ada esok hari, Ibu akan mengizinkanku untuk pergi bila itu esok hari. Meskipun esoknya tetap akan ditanyai mau kemana. Aku merasa seperti sedang melanggar pasal peraturan rumah saat aku SMA dulu/ Aku rasa ini karena aku sedang berada di masa liburan tanpa kegiatan kampus. Jadi, aku kembali menjadi anak SMA. Jika orang tua sudah berkata tidak, maka aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali ‘Yaudah deh’
Rasanya takdir menarikku untuk duduk diatas kasur, merenungi dan menulis evaluasi serta hikmah yang kudapatkan di hari Jumat tanggal 22 Januari 2016 ini. Pagi hariku berjalan seperti biasa, hanya saja pagi tadi kami tidak mencuci baju sehingga aku lebih tenang dan memilih untuk menyelesaikan tulisan abal-abal yang segera kukirimkan kurang dari tanggal 25 Januari 2016. Aku menulis ala kadarnya sepengetahuanku, sependapatku tentang tema yang disajikan. Ketentuan penulisan harus berada diantara 3 sampai 5 halaman tanpa ube rampe seperti cover dan lampiran.
Pagi itu aku menulis sampai dengan empat lebih seperempat halaman. Fiuh, akhirnya aku tidak lagi menunda pekerjaanku, ucapku sendiri. Aku menghidupkan tether di handphoneku dan membuka situs penyelenggara, download panduan. Ternyata terdapat format tulisan yang harus di terapkan dalam penulisan: TNR 12; Margin 3.4.3.3; dan lain sebagainya. Dengan santai ku terapkan format tersebut kedalam tulisan yang telah kubuat.
Jengjeng!!
Page 4 of 8. Begitu tulisan di kiri bawah pada Microsoft Word. Aku sempat terdiam sejenak dan kemudian aku tersadar.
Of 8? Hah, 8 Lembar?! Ya Allah banyak banget yaampun aku harus menghapusnya dong. Hah berarti harus menghapus 3 halaman! Itu terlalu banyak...
Kebingungan itupun kemudian mendorong badanku untuk merebah di Kasur. “Oh tidak-tidak. Aku tak sanggup menghapusnya siang ini juga, terlalu sakit untuk menghapusnya. Hm, baiklah akan kucoba nanti malam” Kututup laptop, kemudian aku membereskan kamar. Bersiap untuk pergi.
Namun sepertinya memang takdir untuk menetap dirumah berpihak kepadaku di hari Jumat ini. Ibu (juga) tidak mengizinkanku pergi tadi siang walaupun hanya dari jam 11 pagi hingga jam 2 siang. Nggak ada yang jaga rumah, soalnya. Baiklah, jika aku tidak pergi siang ini. Aku akan membuat tugas, batinku.
Berlanjut ke sore hari. Ayah pergi untuk mengisi pengajian dikala hujan sedang jatuh-jatuhnya, sepeti disiram air dari ember raksasa, disertai tiupan angin kencang. Tepat semenjak ayah pergi, listrik dirumah padam. Walhasil, gelap gulitalah rumah ini. Mau nyapu, hanya bisa menyapu bagian di tempat yang terang. Padamnya lampu tidak didukung dengan cerahnya langit membuat kami semakin menunggu ayah pulang dan membuat ayah menghidupkan genset dirumah -berhubung kami disini tidak ada seorangpun yang kuat untuk menghidupkannya-, sehingga hingga tadi maghrib kami berlima gabut. Kecuali melakukan satu hal, membuka situs palawa.
Membuka situs palawa, terdengar horror. Tremor dan hati dag dig dug selalu bekerja sama ketika membuka situs palawa. Sore tadi, grup line geo kelas genap dalam chats nya berkata bahwa nilai sudah genap terisi semua. Semua? Batinku. Dag dig dug…
Alhamdulillaaaah..
(Coba tebak apaa?)
Hm, ya.. ada angka disitu. Angka yang membuatku bahagia. Bahagia yang seperti apa? Dengar, semenjak awal aku akan menghadapi UAS, aku telah menempel kertas bertuliskan angka impianku untuk dapat muncul di situs palawa. Tulisan itu kutempel menggunakan pins warna hijau tepat didepan kasurku, dan mudah dilihat jika ingin sholat. Aku juga menuliskan angka tersebut disetiap diktat kuliahku, disetiap soal yang kudapat. Seakan tulisan tersebut menjadi hal yang wajib dituliskan setelah basmallah.
Bukanlah angka bulat sempurna dan muluk yang kutuliskan. Aku menulis sesuai dengan kemampuanku, dan sepertinya aku merasa sedikit melakukan kesalahan. Ada sebuah kata mutiara berbunyi,
Bermimpilah kamu setinggi langit, agar jika kamu jatuh kamu akan jatuh diantara bintang-bintang.
Ternyata, kata mutiara itu memang benar. Dari sana aku juga dapat menyimpulkan bahwa menulis mimpi itu pada awalnya tidak harus didasarkan oleh kemampuan, karena mimpi itu sendirilah yang akan membuatmu mampu. Kupikir, angka yang kutuliskan disana sudah merupakan angka yang baik jika harus menilik ke belakang.
Syukur tak hentinya ku panjatkan ketika aku melihat angka berbeda di situs palawa. Berkat do’a, usaha, dan sugesti yang kubuat, mimpi itu (hampir) tercapai. Mengapa aku menyelipkan kata hampir? Dengar, diatas aku telah mengatakan bahwa angka pada situs palawa berbeda dengan angka yang kutuliskan di kertas tersebut. Angka di palawa berbeda 0,04 dari angka di kertas. Senyum-senyum gimanaa gitu ketika aku melihatnya. Lagi-lagi, hanya hamdalah yang kusebut namun aku juga mengatakan pada ibu, adek, mas
‘Aku jatuh diantara bintang-bintang’
Sebelum kuperlihatkan nilaiku pada mereka, (Karena aku tidak akan pernah sekalipun memberi tahu nilaiku sebelum semuanya muncul secara lengkap, pada keluargaku. Entahlah mengapa) mereka bertanya-tanya apa maksudku mengatakan bahwa aku terjatuh diantara bintang-bintang. Kusodorkan handphone ku dan ku katakan; Aku hampir saja memegang impianku. 0.04 lagi, Bu.
Angka 0,04 ini kemudian membuatku berpikir kembali mengapa ia enggan untuk memenuhi mimpiku. Kembali kutanyakan dalam hati padaNya. Sepertinya aku mulai mengerti mengapa angka yang dibilang kecil ini enggan untuk melaksanakan tugasnya. Jika aku sudah berusaha, maka aku harus berdo’a.
Namun dari angka 0,04 aku sadar bahwa aku memang telah berdo’a tapi aku lupa kalau do’a tidak hanya do’a! Do’a itu berarti juga ibadahmu. Maksudku, ibadahku. Dan ibadah juga bukan hanya sholat dan mengaji. Niat baik itu juga merupakan ibadah. Kemudian aku mulai merenunginya dan bertanya lagi; mungkinkah futur yang dahulu telah merenggut 0.04 ku?
Aku terdiam, dan berusaha melupakan itu semua. Yang penting, syukuri dan ambil hikmahnya! Alhamdulillah, angka ini membuatku tersenyum lebar sembari berhamdalah karena angka tersebut akan membuka pintu gerbang salah satu gerbong menuju menjadi cendekia yang lebih baik, lagi bermanfaat sekaligus pintu gerbang sebuah rumah bagi pejuang-pejuang surga Allah. Inilah mimpiku selanjutnya! Mimpi yang harus benar-benar ku perjuangkan! Bismillah.. On the way to my second target, target #2
Renungan Jum’at malam,
22/1/16 8.42 pm
Ulfah Choirunnisa