Sharing with Alumni: Bangun Indonesia dari Desa

2:05 PM

Oleh: Nur Agis Aulia


Nur Agis Aulia ialah seorang alumni Rumah Kepemimpinan Regional 3 Yogyakarta serta alumni cumlaude Universitas Gadjah Mada jurusan Pembangunan social dan kesejahteraan, Fisipol. Nur Agis Aulia yang akrab disapa Agis ini dengan nilai cunlaude bukannya mau pergi mencari kerja di gedung-gedung skyscraper atau instansi pemerintahan melainkan ia memilih jalan yang baru yakni membangun desa.

Dari sebelas riset yang diajukan untuk menjadi salah satu narasumber ‘membangun desa’, Agislah yang ternyata mendapat kesempatan tersebut. Alasannya simple, ia dipilih karena memilih jalan yang berbeda dari seorang cumlaude. Yakni menjadi petani sekaligus peternak. Alasan ia memilih jalan tersebut salah satunya timbul ketika ia melihat teman-teman asramanya memilih private sector, private sector, dan third sector. Agis berpikir untuk membagi peran dan menerapkan prinsip kolaborasi. Ia memilih untuk membagi peran ke desa dengan kembali untuk membangun desa. Prinsip kolaborasi bersama teman-teman asramanya diwujudkan dalam investasi. Ternak, misalnya. Ternak-ternak yang kini dirawat agis bukan sepenuhnya miliknya melainkan milik teman-teman asramanya yang menanamkan investasi berupa ternak kepada Agis.

Salah satu short movie berjudul ilusi kemakmuran juga merupakan pendukung Agis untuk memilih kembali ke desa. Video itu menceritakan tentang Negara Iceland yang dulu bercita-cita menjadi Negara yang tumbuh dengan finansial yang bagus. Tetapi faktanya malah hutang, dan mengharuskan mereka untuk kembali ke desa menjadi seorang nelayan.

Pertanian dan peternakan merupakan potensi Indonesia. Tetapi ini menjdi terbengkalai karena tidak ada orang yang mau mengurusnya. Orang-orang yang mampu mengurusnya adalah orang-orang yang terdidik dan berprestasi. Masalahnya, orang berprestasi memilih untuk tinggal atau kerja di luar kota atau bahkan di luar negeri. Agis pun sebagai orang yang terdidik dan berprestasi pernah mencoba untuk kerja di BUMN dan keterima. Tetapi kemudian ia bingung dan memutuskan untuk kembali melihat lifeplan dan visualisasi mimpinya. Lifeplan dan visualisasi mimpi yang menjadi ‘senjata’ menuntunnya untuk tetap kembali ke desa, membangun desa.

Agis selalu berusaha untuk memubuat waktunya menjadi produktif. Oleh karena itu ia perlu time management yang baik. Prinsipnya ‘Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin’. Ia juga menerapkan prinsip 5K, prinsip yang tidak diajarkan di perguruan tinggi: 1) Karakter; pendidikan karakter dimulai dari lingkungan rumah terlebih dahulu, kemudian rutinitas yang membentuk suatu kebiasaan yang akhirnya membudaya dan membentuk karakter itu sendiri, 2) Komitmen; kita harus berani untuk membuat komitmen. Misalnya ada ibu yang berjualan roti. Makai a harus berkomitmen trhadap harga, rasa, dan juga ketersediaan. 3) Keyakinan; keyakinan harus ditanamkan dalam diri sejak dini. Trust yourself. 4) Kepatutan; misalnya saat akan menentukan harga dari produk yang dibuat, menentukan ukuran, dan lain-lain. 5) Keberanian.

“Belajarlah ilmu yang berdasar dari amal” maksudnya, saat kita akan belajar ilmu, hendaknya juga diikuti dengan amal. Misalnya saat kita ingin menjadi dosen tetapi bahkan kita tidak mau untuk mengajar TPA. Padahal, tidak ada yang tahu barangkali keberuntungan kita ditentukan oleh hal-hal kecil yang kita amalkan. Oleh karena itu, perlu monitoring diri sendiri untuk terus berilmu berdasar amal dan juga mengaplikasikan prinsip 5k. Karena sebenarnya Indonesia membutuhkan 5K yang tidak diajarkan di perguruan tinggi tersebut. “Beruntunglah para peserta Rumah Kepemimpinan. Karena di asrama inilah kalian mendapatkan pelajaran 5k dan pelajaran berilmu dari amal” pungkas Agis.

Baca ini juga, yuk!

0 comments